Monday, March 27, 2017

Occam's Razor atau Lex Parsimoniae

TUHAN ITU SIMPEL....




Si nona di atas ingin hidup simpel. Itu sudah cukup, katanya. Sementara banyak orang membuat kehidupan mereka jadi rumit, ruwet, ribet, menjelimet, kusut, dan menularkan semua ini ke orang lain. Anda pilih yang mana? Simple atau complicated?




Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya perkenalkan dulu seorang rahib Fransiskan, filsuf skolastik Inggris, yang bernama William dari Ockham. Dia lahir di dusun Ockham, Surrey, Inggris, 1285; wafat 1347 di Munich, Bavaria, Kekaisaran Romawi Kudus. Sang rahib ini beken loh.

Hingga kini William dari Ockham terkenal, antara lain, dalam filsafat epistemologis dan prinsip metodologi keilmuan, yang diungkapnya ringkas, begini: "Entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem." Artinya, "Tidak perlu memperumit hal-hal yang sebetulnya tidak rumit."

Pernyataan Ockham itu dikenal sebagai "Occam’s Razor" (atau "Ockham’s Razor"). Dalam ungkapan Latinnya dinamakan "lex parsimoniae", artinya “kaidah yang paling hemat kata”. Kaidah ini bersifat epistemologis, artinya: ikut menentukan KEABSAHAN atau KETIDAKABSAHAN suatu posisi PENGETAHUAN (Yunani: epistēmē).

Jika anda perlu tahu dulu epistemologi itu apa, baiklah saya usahakan sebuah definisi yang saya rumuskan sendiri. Epistemologi adalah "the logical procedure one utilizes to legitimize a scientific proposition or a scientific theory or a scientific hypothesis which should ever be verified."

Aah lebih enak, lebih simpel, ditangkap kalau definisi itu diungkap dalam bahasa Indonesia. Baiklah. 

Epistemologi adalah suatu prosedur logis yang digunakan orang untuk melegitimasi atau mengabsahkan suatu proposisi ilmiah atau suatu teori ilmiah atau suatu hipotesis ilmiah yang harus selalu diverifikasi.

Jadi, untuk mempertahankan bahwa suatu teori ilmiah anda atau sebuah posisi ilmiah anda itu sah, "legitimate", dan benar, anda harus uraikan dan beberkan apa alasan logis anda ("the logic you employ") atau prosedur pengujian logis atau metode yang anda pakai untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran atau keabsahan posisi ilmiah anda.

Pendek kata, sesimpel mungkin, epistemologi adalah "logos" atau "logika" tentang keabsahan sebuah "epistēmē", sebuah "pengetahuan".

Biasanya, dalam dunia ilmu pengetahuan empiris, epistemologi yang dipakai adalah EPISTEMOLOGI EVIDENSIALIS (Latin: evidentia, "bukti"): keabsahan atau kebenaran suatu posisi keilmuan atau suatu pengetahuan ditentukan oleh, atau berdasarkan, bukti-bukti EMPIRIS. Artinya: bukti-bukti yang dapat ditangkap atau dicerap lima indra, atau lewat bantuan instrumen-instrumen teknologis seperti mikroskop, teleskop, kamera, spektroskop, atau instrumen sains terbesar di dunia sekarang ini yang dinamakan Large Hadron Collider, dll, atau lewat model-model matematis atau model-model komputer atau model-model statistik, dst.

Dalam epistemologi evidensialis, keabsahan sebuah pengetahuan diuji lewat apa yang dinamakan verifikasi, yakni pengujian berlapis berdasarkan bukti-bukti empiris yang bisa diajukan, teori-teori ilmiah besar yang sudah diterima, dan koherensi logis konstruk pengetahuan yang sedang diuji. Lewat verifikasi berlapis ini, keabsahan atau ketidakabsahan, kebenaran atau kesalahan sebuah posisi pengetahuan akan dapat diputuskan.

Jika tidak berpijak pada bukti, melawan teori-teori besar dan tidak memperlihatkan koherensi logis, maka suatu pendirian yang diklaim ilmiah kehilangan legitimasinya sebagai suatu posisi ilmu pengetahuan, lalu dibuang ke dalam keranjang sampah.

Jika si perancangnya tetap ngotot terus menyebarkan dan mempropagandakan apa yang diklaimnya sebagai "temuan ilmiah" tapi tidak lolos verifikasi, maka dia masuk ke dalam kawanan pseudosaintis.

Atau mereka masuk ke dalam gerombolan pelacur dunia ilmu pengetahuan yang dijuluki "junk scientists", yaitu orang-orang yang mengonstruksi suatu posisi yang diklaim posisi ilmiah berdasarkan pesanan dari penguasa politik dan/atau dari kalangan berduit untuk menggolkan tujuan-tujuan politik dan ekonomi mereka. 

Mereka mengagungkan apa yang dengan aneh dinamakan "post-truth", yakni pemutarbalikan kebenaran yang sudah diuji oleh ilmu pengetahuan, lalu menyebarluaskan pemutarbalikan kebenaran atau info dan data palsu hasil rekayasa ini dengan memancing dan memanfaatkan emosi dan perasaan manusia yang dibuat tidak terkontrol lagi oleh kebenaran, fakta dan etika.

"Junk scientists" adalah orang yang tak berakal, orang bodoh, lantaran hanya berpikir di jalur pesanan. Orang cerdas tak ada yang mau diperlakukan begitu atau memperlakukan diri begitu.

Di mana-mana dengan cepat para pelacur di dunia sains ini terlempar dengan sendirinya dari komunitas ilmuwan lokal, apalagi dari komunitas para ilmuwan tersohor dunia.

Nah, sekarang fokus kembali pada Occam's Razor. Kaidah Occam ini mencakup tiga unsur elementer dalam dunia sains.

Pertama: Jangan membuat rumit hal-hal yang sebenarnya tidak rumit.

Kedua: Teori yang paling mungkin benar adalah teori yang paling ringkas dan paling sederhana dari antara teori-teori yang ada yang lebih berbelit dan rumit.

Ketiga: Jika anda mau menjelaskan apapun, mulailah selalu dengan memakai hal-hal yang secara empiris sudah diketahui, jangan membuat lompatan-lompatan iman yang tidak memerlukan bukti-bukti dan teori-teori besar saintifik, tetapi penuh dengan asumsi-asumsi.

Makin banyak asumsi yang dibangun, makin rumit dan ribet jalannya dalam orang mencari kebenaran; dan semakin lemah fondasi kebenaran yang diklaim, lalu akhirnya klaim kebenaran ini amburadul dan ambruk. 

Makin sedikit asumsi dipakai dalam sebuah penjelasan atas suatu fenomena, penjelasan yang hemat kata dan sederhana ini makin diperlukan untuk menjadi sebuah pilihan ilmiah yang didahulukan. Saya sebut ini "preferential option for the simple".

Itulah Occam’s Razor yang perlu diingat terus jika anda masuk ke dunia sains empiris. Sebagaimana pisau cukur ("razor") dipakai untuk memangkas, Occam's Razor menyadarkan kita untuk memangkas hal-hal yang ribet dan rumit, alhasil hal-hal yang simpel akan kita peroleh.

Dengan demikian, Occam's Razor berfungsi heuristik (dari kata Yunani heuriskein, artinya "mencari"), sebagai suatu filosofi penuntun yang kita terapkan di saat kita harus memilah-milah dan mencari-cari dan menjatuhkan pilihan di antara banyak pilihan, mulai dari pilihan yang sangat rumit dan menjelimet hingga pilihan yang simpel, gamblang, praktis dan paling ekonomis.



Ilustrasi bedanya "simple" dan "complicated". Ditambahkan 27 Agustus 2021


Pikiran yang kusut, menjelimet, dan penuh asumsi dan prasangka, tidak pernah bermuara pada kebenaran dan ilmu pengetahuan, tapi menjadi sebuah sumber kerumitan dan kesesatan. Orang yang berakal, tak bisa kusut dalam berpikir. Jika suatu pikiran tampak kusut, si pemikirnya tentu bodoh, tak berakal dan tak mampu bernalar.

Ilmu pengetahuan justru ada untuk membawa manusia keluar dari kerumitan, dari ketakberakalan, dari kebodohan, dan membuat kehidupan jadi lebih mudah dan lebih simpel dijalani.

Jika seorang bodoh menolak ilmu pengetahuan, bahkan membencinya, maka kebodohannya menjadi tanpa batas, kedalaman dan ketinggian kebodohannya tak terukur. Sebaliknya, jika seorang cerdas terus-menerus haus dan mencari dan menimba ilmu pengetahuan dan mengembangkannya, maka kecerdasannya terus tumbuh makin tinggi dan makin rimbun, tanpa pernah berakhir.

Teman-teman Muslim tentu tahu sebuah kaidah fikih yang menyatakan: “Yassiru walaa tu ‘assiru.” Maksudnya: Permudahlah, jangan dipersulit.

Tidak usah dibuat ribet dan rumit, kalau sesuatu itu sudah simpel. Jika diperlukan, malah buat lebih simpel lagi. Ini kurang lebih serupa dengan ucapan sosok besar mendiang Gus Dur yang kita semua sudah tahu, “Gitu aja kok repot!” Kalau dicocok-cocokkan, ya mirip Occam’s Razor.

Nah, menjelang hari pencoblosan dalam Pilkada DKI 2017 putaran kedua, saya merasakan dan melihat hal bagaimana orang musti beragama itu, khususnya di DKI Jakarta, sedang menjadi sesuatu yang pelik, rumit, ribet dan kehilangan kesimpelannya.




Saking rumitnya beragama di Jakarta, ada pihak-pihak yang membuat sebuah meme yang bergambar pocong-pocong berkafan kain putih yang sedang berjalan ramai-ramai dalam sebuah barisan di jalan raya. Tentu anda tahu maksud dan latarbelakang meme itu dibuat dan disebarkan.

Ya, meski seagama, jika pilihan politik berbeda, maka orang yang memegang posisi politik yang berbeda ini, jika mati, diancam tidak akan menerima pelayanan ritual bagi mayat mereka. Alhasil, mayat-mayat harus urus diri mereka sendiri. Karena syahwat politik, agama dijadikan alat yang digunakan semena-mena. Ribet, rikuh, kusut dan menyakitkan hati, ya bagi mereka yang mempertahankan kejujuran, kesimpelan dan spiritualitas agung sebagai nilai-nilai luhur. Politik tanpa etika memang memporak-porandakan agama apapun.

Memang sejak dulu, ihwal beragama itu, hal "being religious", senantiasa dapat menjadi sesuatu yang rumit, menjelimet, sangat bikin ribet dan rikuh. Sudah pasti, oleh para pemuka agama-agama yang tak visioner, hal beragama itu dibuat pelik, rumit, kusut, berbelit dan ngelibet di sana-sini, bahkan sering melawan akal sehat, apalagi akal ilmiah, hanya untuk menggolkan kepentingan-kepentingan partisan mereka sendiri.

Timbul pertanyaan: Apakah Tuhan YMBaik, Al-Rahman dan Al-Rahim, YMTahu, adalah Tuhan yang rumit, ribet, dan berbelit, dus juga Tuhan yang membuat segala hal menjadi sulit, rumit, berbelit, melilit dan membelit, serta senang bikin rikuh dan bikin ribut?

Hemat saya, Tuhan itu tidak demikian. Tuhan itu simpel, dan ingin segala sesuatu dalam kehidupan manusia juga simpel, tidak rumit, tidak ribet, dan tidak berbelit. Keributan umumnya buah kerumitan dan keribetan. Syukurlah, God is simple. Simpel karena God is love. Satu kata saja: love. Cinta. Sufi besar Rabiah Al-Adawiyya jauh-jauh hari telah melihat ini.

Kita semua tahu, apalagi Tuhan, bahwa kehidupan yang rumit dan berbelit-belit membuat siapapun, termasuk para penguasa dan para konglomerat, apalagi rakyat kecil yang miskin dan kumuh, terperosok ke dalam parit stres dan depresi. Sudah pasti, dalam parit ini tubuh dan jiwa terus mengkeret lalu koit.




Tahukah anda dua pernyataan berikut ini? Yang satu diucapkan Albert Einstein bahwa "Saat solusinya simpel, itulah jawaban Tuhan." Lalu yang kedua dikatakan oleh Leo Tolstoy bahwa "Hal yang dibutuhkan, dibuat Tuhan simpel. Hal yang rumit, dibuat Tuhan tidak dibutuhkan." 

Kesimpelan dalam dunia sains ditekankan oleh Jacob Bronowski ketika dia, dengan mengacu ke Albert Einstein, menulis bahwa 

“Einstein adalah seorang yang dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang luar biasa sederhana. Dan apa yang diperlihatkan oleh karya-karyanya adalah bahwa ketika jawaban-jawabannya juga sederhana, maka anda dapat mendengar Allah yang sedang berpikir.” 

Ya, Tuhan YMBaik itu, sang Cinta kudus, sepemikiran dengan William dari Ockham.

Karena mencari penjelasan-penjelasan yang simpel dengan berdasar bukti-bukti, bukan berdasar asumsi-asumsi yang serba menjelimet, atas berbagai fenomena alam raya, ilmu pengetahuan mudah sekali maju dan berkembang. Catat, "simpel" itu bukan "naif". 

Orang yang naif adalah orang yang tidak banyak pengetahuannya, penuh prasangka, tidak punya pengalaman, tidak punya kemampuan berpikir dengan cermat, tidak arif, dan kerap hantam kromo. Berbicara asal jadi, asal bunyi.

Orang yang berpengetahuan luas dan banyak pengalaman, serta memiliki kearifan, wisdom, selalu berupaya berbicara simple, menjelaskan dengan gamblang, menjauh dari pemborosan kata, rendah hati, dan memperlihatkan kehidupan yang sederhana tetapi mulia. Banyak intelektual besar Indonesia menjalani kehidupan mereka sesimpel mungkin. 

Nah, saya kira, jika agama-agama mau juga maju, tidak ketinggalan zaman, tak berubah jadi undur-undur yang berjalan cuma mundur, Occam's Razor juga perlu dibawa masuk ke dalam dunia agama-agama.

Kalau seorang petarung renang mana pun memakai baju renang yang gombrong dan terus bikin ribet dan membelit-belit anggota-anggota tubuh, pasti dia akan kalah telak saat bertarung dengan seorang perenang lain yang berpakaian renang yang sangat ringkes dan menempel ketat pada tubuh.

Beragama itu ya berenang dengan gesit dan tangkas, melaju cepat, makin maju jauh dan jauh ke depan, di lelautan cinta kasih Tuhan, di samudera kemahatahuan Tuhan sebagai sumber besar segala ilmu pengetahuan dan kearifan.

Berenang untuk apa? Ya untuk rekreasi, untuk menciptakan hidup kita baru terus-menerus, dan untuk membawa dan meneruskan lebih jauh dan lebih luas lagi cinta kasih Tuhan Yang Maha Baik dan kemahatahuan Tuhan Yang Maha Tahu lewat ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tahap demi tahap.

Simpel gitu kok. Bak makan sepiring nasi dengan lauk sambel dan pecel doang.

Jakarta, 27 Maret 2017

Baca juga

Salam,
ioanes rakhmat